KESAN pertamaku ketika melihat Caracas, Venezuela, yang bermandikan cahaya matahari adalah warna abu-abu. Gedung-gedung berkesan kusam, grafiti di mana-mana, tak ada bangunan baru. Tak terasa degup semangat dari sebuah negara yang GNI per kapitanya sekitar 12.000 dollar AS, jauh di atas Indonesia yang sekitar 4.500 dollar AS. Tapi setelah Anda memasuki warna abu-abu itu, di dalamnya ada warna yang penuh warni, ada denyar yang mengungkapkan semangat dari warganya untuk hidup yang lebih baik, yang sayangnya termanifestasi dalam dua kubu.
Lima hari di Caracas untuk meliput pemakaman Presiden Hugo Chavez, sama sekali tidak memberi hak padaku untuk menghakimi apa pun yang kulihat di ibu kota Venezuela itu. Karena itu, aku memutuskan untuk sekadar memberi laporan pandangan mata, tanpa menghakimi, tanpa menganalisa. Dan karena Venezuela dikenal–selain karena Chavez dan minyak–dengan gadis-gadisnya yang kerap memenangi gelar ratu kecantikan internasional, mari kita arahkan sekilas pandangan ke mereka.
Komentar orang asing yang tinggal di Venezuela, hanya ada dua jenis perempuan di sana, yaitu cantik dan cantik sekali. Cita-cita banyak perempuan Venezuela adalah menjadi Miss Venezuela. Kecantikan menjadi obsesi. Kalaupun alam tidak memberimu keindahan tubuh seperti yang Anda inginkan, banyak cara untuk memperbaiki keadaan dengan bantuan dokter ahli bedah.
"Hal biasa kalau anak gadis umur 15 tahun mendapat hadiah ulang tahun operasi pembesaran payudara. Katanya operasi plastik pembesaran payudara paling bagus di Venezuela, sedangkan di Brasil untuk pembesaran bokong," kata orang-orang asing itu. Sayangnya tidak cukup waktu untuk meliput dan mencari kebenaran komentar itu.
Tapi info itu jadi membuatku bertanya-tanya setiap kali melihat perempuan-perempuan cantik berlalu-lalang di pusat-pusat perbelanjaan. Ada yang kelihatan palsunya, ada juga yang memberi kesan memang cantik dari sananya. Namun kalau Anda duduk-duduk di kafe dalam mal mewah seperti Centro Comercial El Tolon di kawasan Las Mercedes, Anda akan setuju bahwa memang perempuan cantik di mana-mana. Terlebih Caraquenas (warga perempuan Caracas) terkenal sadar gaya sehingga menghibur mata lelaki dan membuat kagum (mungkin sedikit iri) perempuan lain.
Soal sadar gaya itu membuat mal-mal di Caracas penuh dengan toko pakaian, sepatu, dan aksesori, baik yang merek lokal maupun merek internasional. Aksesori tampaknya menjadi perhatian perempuan sana, karena tiap dua langkah ada toko aksesori, menjual perhiasan desain modern dari harga yang sangat murah (produk China) sampai yang sangat mahal (sebuah merek aksesori yang hanya dibuat di Italia dan Venezuela).
Namun yang aneh bagi mataku, pada beberapa toko ada plakat besar bahwa toko tersebut kena sanksi. Erma, diplomat Indonesia yang menemani jalan-jalan, mengatakan aturan pajak dan perdagangan di sana sangat ketat. Jadi kalau ketahuan sebuah toko melanggar, dia akan kena sanksi sehingga ditutup, dan baru bisa buka kembali setelah membayar denda. "Zara pernah ditutup beberapa hari," ceritanya mengenai merek dari Spanyol itu. Konon, itu karena mereka menjual produk "lama" dengan harga berdasarkan kurs setelah devaluasi Februari lalu.
Menikmati makan siang di foodcourt Centro Comercial sambil memberi kesempatan juga untuk melihat denyut kehidupan para Carasquenos. Anda mau mencoba cachapa, makanan lokal pancake jagung dengan isi beragam, steak dengan singkong yang empuk dan legit, makanan Jepang atau makanan cepat saji Amerika, semua ada. Tentu saja Anda harus antre dengan tertib karena mal ini terutama pada akhir pekan menjadi destinasi populer warga.
Menjelang hari terakhir di Caracas, setelah Erma membawa berjalan-jalan melihat Plaza Bolivar dan sekitarnya, kami pergi bersama Dubes Prianti Gagarin Djatmiko-Singgih ke El Hatillo, sebuah kotapraja di bagian tenggara Caracas. Kawasan ini menjaga arsitektur kolonial warisannya, dengan rumah-rumah dicat warna-warni. Ini menjadi salah satu tujuan wisata, dengan angka kriminalitas yang terendah di Caracas. Itu tidak mencegah setiap rumah untuk memasang teralis di pintu dan jendelanya.
Kami ke Hannsi, sebuah toko kerajinan tangan super besar yang menyediakan karya-karya lokal. Anda akan dibuat kagum melihat aneka ragam dan warna-warni barang indah yang dipamerkan. Patung-patung orang suci yang rumit dan indah memenuhi satu ruang khusus. Ada juga masker folklor yang mengerikan. Juga karya penduduk asli Indian. Lalu ada deretan patung-patung boneka perempuan dari tanah liat. Itu sedikit banyak menyibak bagaimana kecantikan menurut orang Venezuela. Semua boneka hiasan itu berbadan tinggi langsing. Dan yang hampir pasti, mereka berdada besar.
Dalam ruang yang berisi patung orang-orang suci, seorang perempuan menarik perhatian. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Rambutnya memutih, pakaiannya gaya dengan potongan dada yang rendah, memperlihatkan dadanya yang dari bentuknya menimbulkan kesan hasil karya seorang ahli bedah. Dengan penuh percaya diri, perempuan itu memanggil suaminya, laki-laki yang sama rentanya.
Minuman cokelat panas menyadarkan saya dari kebingungan. Daripada bingung mengartikan obsesi kecantikan perempuan, kami memilih membeli kopi Venezuela untuk dibawa sebagai buah tangan. Yang jelas, aku telah melihat warna-warni dalam abu-abunya Caracas. (Diah Marsidi)