KOMPAS.com - Bukan Lebaran jika tak ada kumpul keluarga atau silaturahim dengan sanak famili dan tetangga setelah shalat Idul Fitri. Begitu secara umum orang memandang Lebaran. Namun, bagi sebagian orang, Lebaran harus dimaknai dan dijalani berbeda karena kesulitan menggapai Lebaran dalam pengertian umum tersebut.
Itulah yang dialami beberapa warga di Ibu Kota pada Lebaran tahun ini. Saat orang tenggelam dalam hiruk-pikuk mudik ke kampung halaman, mereka bahkan masih berjibaku mempertahankan hidup. Bagi mereka, Lebaran adalah kemewahan.
Andi Rusmana (49), pemulung, misalnya. Selasa (6/8) siang itu, ia bersandar di pangkal pohon di pinggir Jalan Sudirman, Jakarta. Matanya memerah menahan kantuk. Tangan kirinya memegang erat karung yang terisi setengahnya dengan botol-botol bekas minuman.
Jangan pernah bertanya kepadanya, ke mana ia mudik dan di mana akan berlebaran. Bagi Andi, mimpi merayakan Idul Fitri pun tidak. Bukan hanya karena penghasilannya sangat kecil dan hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Namun, ia juga tak memiliki tempat mudik setelah istrinya meninggal lima tahun lalu dan anak semata wayangnya hilang. "Saya hanya ingin mengunjungi makam istri," kata Andi.
Pria kelahiran Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, itu pernah punya keluarga di Garut, kabupaten sebelah timur Bandung. Itu sebelum istrinya, Munawaroh, meninggal lima tahun lalu saat melahirkan anak mereka, Riyan Andi (5).
Setelah istrinya meninggal, ia mengadu nasib dengan membawa anak semata wayangnya ke Jakarta. Kehidupan keras Ibu Kota memaksa Andi bekerja apa saja demi menghidupi diri dan anaknya. Dia pernah mengemis di Jalan Gajah Mada bersama anaknya selama 2,5 tahun.
Saat mengemis itu, Riyan hilang ketika berbaur dengan anak-anak seumurannya. "Saya sudah lapor ke sana-kemari, tetapi anak saya tetap tidak ditemukan. Sampai sekarang saya masih tetap mencari, tetapi mungkin dijual bos pengemis, entah ke mana," tutur Andi.
Sejak itu hingga saat ini, Andi hidup sebatang kara. Ia lalu berberhenti mengemis dan pindah haluan menjadi pemulung. Dalam sehari, ia mendapat uang Rp 15.000 dan Rp 20.000 dari hasil menjual barang-barang bekas yang dipulungnya.
Lelaki paruh baya itu tinggal di sebuah lapak di daerah Gondangdia, tak jauh dari tempat penampungan barang-barang bekas. Di lapak itu pula, "tempat mudik" Andi pada Lebaran ini. Dua bulan terakhir, Andi berusaha keras menyisihkan uang.
Tidak untuk memanjakan lidahnya dengan ketupat dan opor ayam, tetapi untuk ongkos mengunjungi makam istrinya di Garut. Bagi Andi, mudik dan Lebaran hanyalah ziarah ke makam istrinya.
Suryanto (43), tukang ojek di Terminal 1B Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, tidak begitu menderita seperti Andi. Ia masih punya istri dan empat anak perempuan. Namun, ia tak bisa mudik dan berlebaran ke rumah orangtuanya di Banyumas, Jawa Tengah.
"Saya masih mengumpulkan uang untuk mudik. Uang yang ada masih kurang," ujar Suryanto. Sebelum tahun ini, ia tak pernah absen mudik ke Banyumas saat Lebaran.
Namun, rutinitas tahunan itu kali ini terhenti. Uang tabungannya belum cukup untuk mudik. Uangnya seperti cepat menguap dari tabungan seiring melonjaknya beragam ongkos kebutuhan hidup, terutama harga bahan pokok, premium, dan juga mahalnya tiket bus.
"Semua serba mahal sekarang. Uang sudah terkuras untuk keperluan sehari-hari. Nyicil motor, biaya sekolah anak-anak. Kalau nanti hasil ngojek masih kurang untuk mudik, paling saya dan istri saja yang mudik, anak-anak tinggal di rumah," kata Suryanto, yang sudah delapan tahun jadi tukang ojek itu.
Bagi Suryanto dan keluarganya, Lebaran berarti menahan diri dari pulang kampung. Selepas shalat Idul Fitri, ia akan bermaaf-maafan dengan anak dan istrinya; lalu silaturahim dengan tetangga rumahnya di Teluk Naga, Kabupaten Tangerang; setelah itu, kembali mengojek di Bandara Soekarno-Hatta.
Memaknai Lebaran
Seperti Suryanto, Akbar (38), petugas keamanan di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, juga mempunyai keluarga di Bogor. Meski demikian, ia tidak bisa merayakan Lebaran bersama keluarga. Ia harus bertugas di Stasiun Gambir hingga tujuh hari setelah Lebaran.
"Kerja adalah ibadah. Itulah cara saya memaknai Lebaran dalam situasi saya sebagai petugas keamanan," ujar Akbar.
Begitulah sekilas potret kehidupan di sebagian kalangan masyarakat bawah. Bagi mereka, mudik dan berlebaran di kampung halaman adalah sebuah kemewahan. Satu-satunya penanda mereka sudah berlebaran adalah shalat Idul Fitri.
"Kami masih bisa shalat hingga Lebaran tahun ini saja harus disyukuri," ujar Niam (52), pedagang asongan di sekitar Monas, yang tak mudik ke Surabaya, Jawa Timur, karena tak mampu membeli tiket bus.
Padahal, menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komarudin Hidayat, puncak Lebaran bagi masyarakat Muslim adalah shalat Idul Fitri serta bersilaturahim sesama mereka (keluarga, sanak famili, dan tetangga).
"Saling memaafkan dan merayakan lega rasanya berhasil puasa sebulan. Jadi, pada dasarnya Lebaran perayaan yang merakyat, sederhana," tuturnya lewat pesan singkat.
Bagi masyarakat urban, kebutuhan utama untuk bisa pulang mudik dengan lancar dan aman adalah sebuah kemewahan. Jika bisa dipenuhi, lengkap sudah perayaan Lebaran.
Jika tidak, ya seperti yang dialami kaum pinggiran, seperti Andi Rusmana, Suryanto, Akbar, Niam, dan warga yang senasib.(AHA/RWN/WER/K06/K13)
Editor : Caroline Damanik