Oleh: YOHAN WAHYUKOMPAS.com - Sejarah mencatat bagaimana pemuda memiliki peran sebagai aktor perubahan. Peran itu terutama terekam dalam episode sejarah pergolakan politik di negeri ini. Kini, modal sejarah tersebut diuji perkembangan zaman.
Publik menilai kaum muda saat ini berada di simpang jalan, tidak sepenuhnya ikut melebur dalam arus zaman, tetapi belum secara tegas menjelma menjadi aktor yang memberi inspirasi perubahan.
Pemuda, seharusnya, berkontribusi besar dalam memengaruhi pergolakan politik di negeri ini. Sumpah Pemuda, yang menjadi jejak sejarah monumental, menempatkan pemuda sebagai entitas penting. Momentum tersebut menjadi penanda dan batas antara era pencarian dan penegasan jati diri sebagai sebuah bangsa. Peneliti sejarah, Keith Foulcher (2000), menyebut Sumpah Pemuda sebagai hasil akumulasi nilai dan ideologi.
Pergolakan politik pada pertengahan tahun 1960 menyeret pemuda dalam pusaran perebutan kekuasaan. Dalam hegemoni rezim militer, kaum muda ikut serta menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menegakkan negara Orde Baru (Suryadi Rajab dalam Prisma, 1991).
Namun, selama tiga dasawarsa selanjutnya, kaum muda tak luput dari pergulatan bersama kelompok-kelompok marjinal menentang otoritarianisme Orde Baru. Puncak perlawanan mengkristal dalam gerakan mahasiswa dan rakyat menuntut lengsernya Soeharto pada tahun 1998.
Zaman pun berubah. Dalam level tertentu, kebebasan politik digenggam dan kaum muda bisa lebih leluasa berkiprah di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Namun, tantangan baru pun menghadang generasi muda. Globalisasi dan perkembangan teknologi telah membuka peluang bagi pemuda untuk berkembang. Di sisi lain, perubahan ini dalam beberapa hal telah ikut "menjinakkan" taring ideologi perlawanan yang pernah lekat dalam kehidupan kaum muda.
Persoalan bangsaKini, persoalan kepemudaan tenggelam dalam isu-isu besar yang mewarnai kehidupan sosial dan politik negeri ini. Sejumlah hasil riset, termasuk jajak pendapat Kompas, mengungkap tentang rendahnya kepercayaan publik pada institusi hukum dan politik. Kondisi ini turut memengaruhi penyikapan publik pada isu-isu terkait pemuda.
Penilaian publik pada peran pemuda, terutama pada persoalan kebangsaan dan kenegaraan, cenderung dinilai masih jauh dari harapan. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu merekam bagaimana publik menilai peran pemuda saat ini belum memadai dalam sejumlah bidang. Dalam urusan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi negara, misalnya, 73,6 persen responden memandang pemuda tidak ikut ambil bagian dalam mewujudkan butir-butir sila dalam Pancasila.
Hasil jajak pendapat juga merekam bagaimana ingatan tentang makna Sumpah Pemuda mulai tergerus dari benak kaum muda. Responden dari kalangan muda yang berusia 17-30 tahun mengakui bahwa tonggak perjuangan dan kebangkitan bangsa dimotori para pemuda. Namun, ironisnya, responden dari kelompok usia ini juga menemui kesulitan menyebutkan dengan benar dan berurutan tiga isi Sumpah Pemuda. Hanya 9,4 persen responden yang menyebutkan dengan benar isi Sumpah Pemuda.
Kondisi ini tidak lepas dari kecenderungan minat dan perhatian pemuda saat ini pada hal-hal yang bersifat praktis. Hasil survei Kompas tahun 2011 dan 2012 merekam luruhnya orientasi sosial kalangan muda. Dua pertiga bagian responden saat itu menyatakan kuatnya orientasi pribadi pemuda. Tak hanya itu, kelompok responden dari kalangan muda sendiri menyatakan bahwa orientasi kehidupan mereka lebih difokuskan pada pencapaian diri ketimbang terlibat pada persoalan sosial di masyarakat.
Orientasi pemuda yang semakin praktis ini tidak lepas dari derasnya arus globalisasi dan modernisasi yang semakin terbuka dan kompetitif. Imbasnya, persoalan yang dihadapi pun semakin beragam.
Publik melihat hal utama yang menjadi tantangan berat pemuda saat ini adalah narkoba (26,4 persen) dan rendahnya akhlak (15,5 persen).
Data yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar kasus narkoba menjadikan usia produktif sebagai sasaran. Catatan Polri mengungkapkan bahwa 48,7 persen pelaku narkoba pada triwulan I-2012 adalah pemuda, baik sebagai pengedar maupun pengguna. Sebagian besar berada dalam rentang usia 25-29 tahun.
OptimistisDi samping penilaian tentang orientasi diri kaum muda yang cukup kental, publik tetap memandang optimistis terhadap kiprah para pemuda di masa depan.
Hampir semua responden menyatakan masih banyak pemuda yang memiliki integritas dan kepekaan sosial tinggi. Kelompok ini, menurut responden, berpotensi menjadi pemimpin nasional di masa depan.
Namun, apakah kaum muda memang telah mendapat kesempatan penuh untuk tampil memimpin?
Suara publik terhadap persoalan ini terbelah. Sebagian responden menilai kaum muda saat ini belum diberi kesempatan penuh untuk tampil dalam proses pergantian kepemimpinan di Indonesia. Sebagian lainnya menilai sebaliknya. Menurut mereka, sejumlah peluang telah diberikan kepada kaum muda, tetapi mereka tidak bersedia merebut tongkat estafet tersebut dan mengambil alih kepemimpinan.
Sejumlah dinamika di masyarakat sendiri merekam bagaimana kaum muda menyimpan potensinya sebagai aktor perubahan itu sendiri.
Sebut saja Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2012. Sejumlah relawan pendukung pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dimotori oleh kalangan muda. Mereka kreatif menciptakan bentuk kampanye yang akrab bagi kaum muda, mulai dari lagu, baju kotak-kotak, sampai kampanye melalui sosial media. Upaya ini akhirnya sukses mengantarkan pasangan ini menang di pilkada.
Di luar urusan politik, banyak anak muda Indonesia sukses meraih prestasi, bahkan mendunia. Sebut saja profesor muda Khoirul Anwar (35) yang menjadi pemilik paten sistem telekomunikasi berbasis teknologi 4G (M Alfan dan Arimy Adi S, 2013).
Kecenderungan yang lain juga bisa dilihat dari peluang kaum muda memasuki dunia politik. Komposisi kursi anggota DPR dari 1999-2009 memperlihatkan jumlah politisi muda (usia 25-50 tahun) terus meningkat. Periode 2009-2014 jumlah politisi muda mencapai 66 persen. Angka ini melonjak dibandingkan dua periode sebelumnya, yakni 49 persen (2004-2009) dan 38,8 persen (1999-2004).
Terkait regenerasi kepemimpinan, lebih dari separuh responden (62,3 persen) menginginkan kepemimpinan nasional mendatang berasal dari tokoh-tokoh muda yang berusia 31-50 tahun, bahkan sebagian di antaranya berharap mereka yang berusia 31-40 tahun tampil sebagai pemimpin.
Sikap responden ini menjadi potret keinginan publik akan sebuah perubahan. Umum diketahui bahwa hingga saat ini, mayoritas pemimpin wilayah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, masih dikuasai mereka yang berusia di atas 50 tahun.
Namun, di sisi lain, publik menyadari bahwa kemampuan pemuda memegang tampuk kepemimpinan nasional masih harus diuji. Pemuda sebaiknya membuktikan diri, terutama dalam menelurkan gagasan-gagasan segar yang menyangkut kehidupan kemasyarakatan. Sebagian besar responden dari kelompok muda sendiri (17-30 tahun) menilai gagasan-gagasan pemuda dalam mengatasi sejumlah persoalan bangsa cenderung hanya mengikuti apa yang telah dilakukan generasi sebelumnya.
Inilah tantangan sekaligus ujian sesungguhnya bagi kaum muda saat ini. Di satu sisi, mereka dilihat sebagai entitas yang belum memberi kontribusi bagi bangsa. Di sisi lain, mereka menyimpan potensi dan diharapkan mampu tampil dalam panggung kepemimpinan politik nasional. (LITBANG KOMPAS)
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary